Warna Pesantren

Warna pesantren
Menurut Data Kementerian Agama tahun 2012 misalnya, menunjukan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag  sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data  1997, yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Bahkan di abad ke-18an jumlah pesantren hanya sekitar 300 pesantren.
Seiring berjalannya masa, para pelajar yang telah belajar di makkah dan jazirah arab kembali ke indonesia,mereka membawa dampak besar bagi kemajuan umat islam di indonesia. Terlebih saat itu makkah yang dibawah kekuasaan turki utsmani memberikan kebebasan umat islam dalam bermadzhab yang empat.
syaikh hasyim asyari mendirikan pesantren tebu ireng dan NUnya telah melahirkan banyak ulama yang tersebar di indonesia.
Syaikh ahmad dahlan mendirikan Muhammadiyah dan telah banyak mendirikan ribuan sekolah dan universitas yg tersebar di indonesia.
Syaikh Sulaiman Arrasuli mendirikan Persatuan Tarbiyah Islamiyah juga komitmen dalam memajukan pendidikan, dan dakwah.
Dan ulama lainnya.
Dari rahim mereka terlahir para ulama yang juga konsen dalam bidang dakwah, pendidikan, ekonomi, bahkan juga politik.
Dan seiring berkembangnya masa, banyak warna dalam pendidikan terutama pesantren.
Ada pesantren yang menonjol dalam bidang leadership, dan berbahasa aktif seperti Gontor dan pesantren2 yang menirunya yang biasa diskenal dengan nama Pesantren Modern.
Ada juga yang menonjol dalam mendalami kitab kuning; dari matan, syarah matan, syarahnya syarah, hasyiyahnya syarah hingga kitab2 besar para ulama. Model ini biasa dikenal dengan Pesantren Salafiyah (Tradisional; karena menjaga orisinilitas ‘tradisi ulama’ dalam belajar) seperti tebu ireng dan lainnya.
Kedua model pesantren tersebut seiring berjalannya waktu saling belajar dan saling menutupi kekurangannya demi menghadapi era kedepan.
Seiring pertumbuhan pesantren di indonesia, terdapat variasi warna lain dalam pesantren. Ada pesantren yang khusus hafalan alquran, atau juga gabungan modern-tradisional, atau modern-alquran,tradisional-alquran, modern-tradisional-alquran dll.  Yang kesemuanya ingin mendidik anak bangsa dan terwujudnya izzul islam wal muslimin.
Tetapi harus diperhatikan bahwa pesantren yang baik adalah yang mengajari arti kemandirian dan kesederhanaan. Inilah yang menurut gusmus, jangan sampai pesantren  ‘tergeser’ dari ciri utamanya tersebut. Jadi santri dilatih untuk mandiri, dan sederhana.

KH. Hasbullah Said & Kemerdekaan

KH. Hasbullah Said adalah salah satu ulama kharismatik yang memiliki karomah tersebut. Diceritakan dalam sebuah kesempatan di kurun waktu 1920-1925 Masehi. Sesudah melakukan tirakat panjangnya, Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur ini memberikan sebuah pesan yang dituliskan di menara masjid pesantren (sekarang dikenal dengan menara masjid pondok induk). Seusai menuliskan pesan tersebut, Kiai Hasbullah menutupinya dengan kain satir dan berpesan kepada para santri agar jangan ada yang membuka satir tulisan tersebut.

Beberapa tahun kemudian menjelang wafatnya, ayahanda dari Kiai Abdul Wahab Hasbullah ini berpesan lagi kepada santri. “Lek misale aku mati omongno nang Wahab kongkon buka tulisan nak menara tahun 1948 (kalau misalnya aku sudah meninggal, katakan kepada Wahab untuk membuka tulisan di menara tahun 1948)” ujar Kiai Habullah.

Setelah memberikan pesan tersebut, selang beberapa bulan kemudian Kiai Hasbullah wafat, dan kursi pengasuh pesantren diemban oleh Kiai Abdul Wahab Hasbullah.

Selama menjadi pengasuh pesantren, Kiai Abdul Wahab mengalami masa-masa sulit. Karena selain harus menjadi pengajar yang baik kepada santri, Kiai Abdul Wahab juga harus berjuang melawan penjajahan Belanda. Jiwanya merasa terpanggil untuk turut berjuang memerangi penjajahan di bumi Nusantara. Dalam usaha perlawanannya kepada penjajah tersebut, beliau mendirikan beberapa aliansi perjuangan kemerdekaan termasuk di antaranya Nahdlatul Wathan, Nahdlatul Tujjar, dan barisan Hizbullah.

Sekitar tahun 1944-1945, ketika kemerdekaan hampir saja diraih, Kiai Abdul Wahab menyuruh para santrinya untuk i’tikaf di masjid selama sehari penuh dengan membaca amalan Shalawat Burdah yang merupakan ijazah dari Kiai Hasbullah. Kiai Abdul Wahab mengambil tempat berbeda untuk melantunkan bacaan tersebut. Ia memilih menyendiri di dalam sebuah kamar.

Saat malam tiba, Kiai Abdul Wahab keluar dari kamar dan dawuh (berkata) kepada para santri yang masih berada di masjid, “Saya baru bertemu Soekarno, berdiskusi banyak dengannya, dia mengatakan kepada saya kekhawatirannya kalau Indonesia akan jatuh ke tangan penjajah yang lebih kuat lagi setelah Jepang ini. Lalu saya menyarankan sebuah keputusan hukum kepadanya, keputusan di mana suatu negara yang diambil alih oleh orang asing dan memberikan kesengsaraan terhadap masyarakat, wajib hukumnya diperangi,” terang Kiai Wahab. Para santri pun tercengang, seolah tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kiai Abdul Wahab, karena kamar yang ditempati terkunci rapat hingga keluar.
Setelah kejadian aneh tersebut, pasca kemerdekaan tepatnya pada Tanggal 22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” yakni perintah perang kepada seluruh umat Islam di Nusantara. Diyakini oleh beberapa sumber, bahwa resolusi jihad tersebut ada keterkaitan erat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Kiai Abdul Wahab.

Kemerdekaan memang sudah diproklamirkan, namun tetap saja penjajahan belum sepenuhnya bisa dinikmati. Terlebih, setelah resolusi jihad digulirkan muncul agresi militer Belanda I 21 Juli 1947. Karena agresi tersebut, wilayah Indonesia semakin menyempit.

Pada tahun 1948, pesan Kiai Abdul Hasbullah untuk membuka satir di menara masjid benar-benar disampaikan oleh santri kepada Kiai Abdul Wahab. Dengan didampingi para santri yang terus mengumandangkan Shalawat Burdah, beliau membuka satir yang diikat di menara masjid. Setelah dibuka, ternyata di balik satir terdapat ukiran huruf hijaiyah ha ra ta mim yang menempel.

Kiai Abdul Wahab tentu penasaran dengan arti tersebut. Namun setelah dilihat dengan seksama, beliau mulai mengerti maksud dari pesan sang ayah. Huruf hijaiyah itu bila disambungkan akan terbaca huruf taamun yang artinya kemerdekaan yang sempurna.

Benar saja. Pada tahun itu, kemerdekaan Indonesia mulai diakui dunia. Agresi militer Belanda juga telah berhasil dipukul mundur. Dan tentu saja pada tahun itu pula Indonesia benar-benar merasakan kemerdekaan. Yang sejatinya keadaan tersebut sudah diukir di tembok menara oleh Kiai Hasbullah sejak 1920-an silam.

(David R Husein, disadur dari cerita KH Jamaludin Ahmad, Dewan Pengasuh PP Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang).

Sumber: http://www.muktamarnu.com/tulisan-di-menara-masjid-tambakberas-dan-ramalan-kiai-hasbullah.html

Imam Ghazali Menjemput Maut

Hujjatul Islam Imam Al-Gazali. Siapa tak kenal ulama tersohor ini? Kedalaman ilmu ulama bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi tersebut tak diragukan lagi, bahkan oleh para pengkritiknya. Karya tulisnya ratusan dan dibaca selama berabad-abad hingga sekarang. Madzhab tasawufnya diikuti. Ilmu kalamnya menjadi benteng. Dan ulasan ushul fiqihnya menjadi rujukan. Imam Al-Ghazali juga serius mendalami filsafat meski akhirnya ilmu ini ia kritik sendiri.

Reputasi Imam Al-Ghazali sebagai ilmuan diakui oleh kawan maupun lawan. Tapi yang mesti diingat, kehebatannya tak datang tiba-tiba. Ulama yang terkenal dengan karya monumental Ihya’ Ulumiddin inimelalui kehidupan berliku sejak kecil. Al-Ghazali hidup dalam keluarga miskin. Ayahnya yang sangat taat beragama adalah seorang pemintal dan melalui perkejaan sederhana ini pula ia menghidupi keluarga. Ia hanya mau menafkahi keluarga dari hasil jerih payahnya sendiri.

Meski diliputi hidup yang serbaterbatas, ayah Al-Ghazali menyimpan impian yang begitu menggebu, yakni kedua anaknya, Imam Al-Ghazali dan saudaranya (Imam Ahmad) kelak menjadi orang yang faqîh dan tonggak dalam suksesnya syiar Islam. Ayah Imam Al-Ghazali memang orang yang gemar mengunjungi majelis-majelis ilmu, melayani para ulama, dan ketika mendengarkan kalam guru-gurunya itu ia menangis dan merunduk sembari melangitkan doa bagi masa depan anak-anaknya.

Doa tersebut terkabul meski sang ayah tak menyaksikan kebesaran anak-anaknya karena wafat sebelum  mereka dewasa. Kerasnya hidup sebagai anak yatim dan semangat menimba ilmu yang terus berkobar membuat Al-Ghazali kecil dan saudaranya tumbuh sebagai manusia yang cerdas dan sangat disegani. Wawasannya luas dan terbuka, pribadinya penuh cinta dan kasih sayang, serta kezuhudan dan ketaatannya dalam beragama amat meyakinkan. Bahkan oleh sang guru, Imam al-Haramain, Al-Ghazali dijuluki “bahrun mughdiq” (lautan luas tak bertepi).

Imam Al-Ghazali pernah diangkat sebagai guru besar di Madrasah Nidhamiyah, Bagdad, era kekuasaan Nidhamul Mulk saat usianya 34 tahun. Ini adalah kedudukan tertinggi di dunia pendidikan dan keislaman zaman itu yang belum pernah disandang siapa pun dalam usia yang relatif muda. Meskipun, kehormatan itu sempat ia lepas begitu saja demi pendalamannya terhadap ilmu tasawuf.

Namun demikian, bukan statusnya sebagai profesor itu yang membuat kisah Imam Al-Ghazali menarik. Setelah mengakhiri pengabdian di Madrasah Nidhamiyah, sang imam pulang ke kampung asal, Thus, dan mendirikan zawiyah atau semacam pesantren untuk meneruskan khidmah mengajar hingga akhir hayat. Pada detik-detik kewafatannya, sebuah peristiwa indah terjadi.

Abul Faraj ibn al-Juuzi dalam kitab Ats-Tsabât ‘indal Mamât memaparkan cerita dari Imam Ahmad, saudara kandung Imam Al-Ghazali. Suatu hari, persisnya Senin 14 Jumadil Akhir 505 H, saat terbit fajar, Imam Al-Ghazali mengambil wudhu lalu menunaikan shalat shubuh. Usai sembahyang, Al-Ghazali berkata, “Saya harus memakai kain kafan.” Lalu ia mengambil, mencium, dan meletakkan kain kafan tersebut di kedua matanya. 

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali berucap, “Saya siap kembali ke-hadirat-Mu dengan penuh ketaatan dan kepatuhan (sam‘an wa thâ’atan lid dukhûli ‘alal mulk).” Ia pun meluruskan kedua kakinya, menghadap arah kiblat, lalu kembali kepada Sang Kekasih untuk selama-lamanya. Innâlillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn.

Imam Al-Ghazali wafat pada tahun 19 Desember 1111 dan dikebumikan di desa Thabran, kota Thus. Proses wafatnya yang tenang, damai, dan indah mencerminkan kualitas kehambaannya selama hidup. Kepergiannya ditangisi para ulama dan murid-muridnya. Imam Al-Ghazali mewariskan ratusan karya tulis, teladan, dan keilmuan yang tak lekang oleh zaman.

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/70392/detik-detik-wafatnya-imam-al-ghazali
 (Mahbib Khoiron)

Dakwah Itu….

(ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ)
[Surat An-Nahl 125]

*Dakwah itu membina, bukan menghina.

*Dakwah itu mendidik, bukan ‘membidik’

*Dakwah itu mengobati, bukan melukai.

*Dakwah itu mengukuhkan, bukan meruntuhkan.

*Dakwah itu saling menguatkan, bukan saling melemahkan.

*Dakwah itu mengajak, bukan mengejek.

*Dakwah itu menyejukkan, bukan memojokkan.

*Dakwah itu mengajar, bukan menghajar.

*Dakwah itu saling belajar, bukan saling bertengkar.

*Dakwah itu menasehati, bukan mencaci maki.

*Dakwah itu merangkul, bukan memukul.

*Dakwah itu ngajak bersabar, bukan ngajak mencakar.

*Dakwah itu argumentative, bukan provokatif.

*Dakwah itu bergerak cepat, bukan sibuk berdebat.

*Dakwah itu realistis, bukan fantastis.

*Dakwah itu adu konsep di dunia nyata, bukan adu mulut dan olah kata.

*Dakwah itu mencerdaskan, bukan membodohkan.

*Dakwah itu menawarkan solusi, bukan mengumbar janji.

*Dakwah itu berlomba dalam kebaikan, bukan berlomba saling menjatuhkan.

*Dakwah itu menghadapi masyarakat, bukan membelakangi masyarakat.

*Dakwah itu memperbarui masyarakat, bukan membuat masyarakat baru.

*Dakwah itu mengatasi keadaan, bukan meratapi kenyataan.

*Dakwah itu pandai memikat, bukan mahir mengumpat.

*Dakwah itu menebar kebaikan, bukan mengorek kesalahan.

*Dakwah itu menutup aib dan memperbaikinya, bukan mencari2 aib dan menyebarkannya.

*Dakwah itu menghargai perbedaan, bukan memonopoli kebenaran.

*Dakwah itu apresiasi terhadap langkah positif, bukan mencari-cari motif.

*Dakwah itu mendukung semua program kebaikan, bukan memunculkan keraguan.

*Dakwah itu memberi senyum manis, bukan menjatuhkan vonis.

*Dakwah itu berletih-letih menanggung problema umat, bukan meletihkan umat.

*Dakwah itu menyatukan kekuatan, bukan memecah belah barisan.

*Dakwah itu kompak dalam perbedaan, bukan ribut mengklaim kebenaran.

*Dakwah itu siap menghadapi musuh, bukan selalu mencari musuh.

*Dakwah itu mencari teman, bukan mencari lawan.

*Dakwah itu melawan kesesatan, bukan mengotak atik kebenaran.

*Dakwah itu asyik dalam kebersamaan, bukan bangga dengan kesendirian.

*Dakwah itu menampung semua lapisan, bukan memecah belah persatuan.

*Dakwah itu kita mengatakan: “aku cinta kamu”, bukan “aku benci kamu”

*Dakwah itu kita mengatakan: “Mari bersama kami” bukan “Kamu harus ikut kami”.
(Copas artikel WA)
Note:
Energi dakwah itu ngaji biar paham apa yang didakwahkan. Dan teladan dakwah adalah Rasulullah saw, para sahabat, para tabiin dan para ulama amilin. Karena tidak mungkin seseorang memahami apa yang dipahami Rasulullah saw dan sahabat2nya tanpa ngaji kepada para ulama. Sebab Rasulullah saw sendiri melegalkan agar mengikuti para ulama, “Dan para ulama adalah pewaris para nabi (waratsatul anbiya’)”.
Lebih dari itu seorang dai dituntut untuk memahami agama dengan baik dan benar serta mendalam, memperbaiki intelektual dan spiritual yang menjadi bekal dalam berdakwah. Tidak mungkin seseorang menerangi tanpa membawa cahaya. Ilmu, iman dan takwa itulah cahaya dai. Seperti Rasulullah selalu terdepan, memberi contoh dan menjadi teladan, baik dalam masalah spiritual, intelektual, sosial, politik dan lainnya.
Semoga Bermanfaat

KH. Abdul Muhith -jilid II-

image

KH. Abdul Muhith adalah seorang ulama alumni Al-Azhar Kairo Mesir yang mendirikan madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) bersama KH. Noor Khudlrin. Ia juga pendiri madrasah Ma’ahid. Lokasi keduanya dekat dengan Menara Kudus.

Kiai Muhith lahir di Desa Langgardalem, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, kurang lebih tahun 1901. Oleh ayahnya, ia diberi nama Sanusi. Sanusi merupakan putera ke 3 dari 9 bersaudara. Ayahnya adalah seorang pengusaha rokok cap “Gramophon”. Namanya H Rahmat, istrinya Hj Noor.

Sejak kecil, Sanusi hidup dalam kultur religius di lingkungan desanya. Kultur berbisnis yang dinamis di lingkungannya sangat berpengaruh terhadap karakter Sanusi. Secara ekonomi, keluarga Sanusi tergolong mampu. H Rahmat adalah saudagar kaya yang peduli pendidikan putranya.

Dari sembilan bersaudara, hanya Sanusi dan kakak sulungnya H. Ma’shum yang merespon keinginan ayahnya untuk aktif belajar sampai ke luar kota, bahkan atas fasilitas sang ayah, Sanusi dapat belajar ilmu sampai ke luar negeri. Sedang saudara yang lain mayoritas memanfaatkan waktu hidupnya untuk meneruskan bisnis sang ayah.

Pendidikan

Semasa kecil Sanusi memperdalam ilmu dengan mengikuti pengajian kitab kuning kepada Kiai Ahmad di Balaitengahan. Menginjak usia baligh, Sanusi melanjutkan penjalanan pencarian ilmunya ke pondok pesantren Jamsaren Surakarta di bawah asuhan KH. Idris. Di pondok inilah Sanusi berganti nama menjadi Abdul Muhith.

Di Jamsaren, Muhith sangat akrab dengan M. Arwani Amin Said. Zulaikho,[1] putri Kiai Muhith menceritakan kalau KH Arwani Amin selama di Jamsaren sering ngliwetke (memasak) untuk Kiai Muhith.

Semangat penggalian nilai-nilai Islam tidak padam hanya sampai Jamsaren Surakarta. Di usia 18 tahun, tepatnya tahun 1919, atas biaya dari sang ayah, Muhith berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan berada di tanah suci ini ia manfaatkan untuk belajar kepada ulama Makkah selama 3 tahun. Setelah itu, Muhith melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir selama 9 tahun.

Mendirikan Madrasah TBS

Sepulang dari Al Azhar Mesir, Kiai Muhith menemui Kiai Noor Irsyad atau Kiai Noor Khudlrin[2]. Dia mengutarakan keprihatinannya kepada Kiai Khudlrin itu tentang pendidikan formal yang belum ada di kota Kudus. Keinginan Kiai Muhith ini diamini oleh Kiai Khudlrin dengan menyediakan lahan kosong di sebelah selatan Ponpes Tasywiquth Thullab yang saat ini digunakan untuk tingkat MI TBS. Nama yang digunakan pun mengikuti nama pondok pesantren asuhan KH. Ahmad, ayah KH. Ma’mun Ahmad. Terbentuklah Madrasah TB pada tanggal 7 Jumadil Akhir 1347 H Tahun Alif, bertepatan 24 November 1928 M.

Madrasah Tasywiquth Thullab disingkat TB, bukan TT, karena mengambil dua huruf depan dan belakang. Akronim tersebut sengaja digunakan karena mengikuti penomoran dokar (andong) di Kudus pada waktu itu yang menggunakan singkatan KS (KuduS). Tasywiquth Thullab ditambah dengan kata School menyesuaikan kondisi nusantara yang saat itu masih menjadi jajahan Belanda sehingga akronim madrasah menjadi TBS.

Selain Kiai Muhith, guru yang mengajar pertama kali di madrasah baru ini adalah Habib Abdillah Al Jufri asli Yaman. Ia adalah kakek pemilik Toko Murah Kudus dan juga kakek Habib Muhammad Al-Athas bin Habib Muhsin Al-Athas pemilik beberapa stasiun pompa bensin.

Sementara itu, Kiai Khudlrin memilih hanya mengurus madrasah di luar mengajar. Pengurus madrasah TBS pertama saat itu adalah KH. Abdul Jalil yang pernah lama tinggal dan belajar di Makkah. Ia adalah menantu Kiai Khudlrin asli Bulumanis Kajen Pati serta keturunan KH. Mutamakkin.

Para pendiri dan guru-guru madrasah TBS di awal pendiriannya selain alim dan lulusan Timur Tengah (Makkah, Yaman dan Mesir) mereka adalah orang-orang yang ahli riyadlah (tirakat). Para guru zaman dahulu tidak pernah membawa uang banyak ke madrasah karena habis digunakan untuk membeli kitab, bahkan ada yang membawa uang saku untuk kepentingan membeli peralatan sekolah seperti kapur dan buku tulis.

Salah satu murid kesayangan Kiai Muhith adalah KH Turaichan Adjhuri. Mbah Tur (demikian santri biasa menyebutnya) ditarik juga untuk mengajar merangkap posisi sebagai pelajar, padahal usianya masih 13 tahun. Pagi mengajar, siang harinya belajar kepada Habib Abdillah. Ketika mengajar, Habib Abdillah maupun Kiai Muhith tidak menggunakan teks kitab ajar alias apal-apalan.

Mendirikan Madrasah Ma’ahid

Sistem pengelolaan madrasah TBS yang hanya mengandalkan hasil kebun membuat KH. Abdul Jalil memperjuangkan adanya uang masuk dari murid melalui sistem i’anah syahriyah (iuran bulanan). Pendapat Kiai Abdul Jalil selaku pengurus madrasah TBS ditolak oleh Kiai Muhith, pendiri TBS. Menurut Kiai Muhith, orang yang ngaji agama tidak etis ditarik iuran dengan alasan apapun. Kiai Muhith menjamin, seluruh penghasilan sawahnya akan diberikan kepada semua kepada guru yang mengajar di TBS.

Setelah melalui musyawarah dan tidak ditemukan titik temu antar keduanya, akhirnya Kiai Muhith memutuskan untuk mengundurkan diri dari TBS. Setelah mundur dari TBS, Kiai Muhith mendirikan sekolah Ma’ahid yang pada awal berdirinya tidak ada tarikan i’anah karena sawahnya sudah mencukupi kebutuhan sekolah.

Sebab mundurnya Kiai Muhith dari TBS bukan masalah perbedaan pandangan dalam masalah akidah, tapi murni hanya karena perbedaan prinsip tentang sistem pengelolaan madrasah. Selama mendalami ilmu agama di Mesir, Kiai Muhith tidak ditarik biaya. Atas pengalaman itulah, lembaga pendidikan yang didirikan tidak etis menarik biaya studi dari para santrinya.

Bukti bahwa Kiai Muhith mundur dari TBS bukan karena perbedaan faham atau akidah adalah dilihat dari corak lulusan Ma’ahid di masa beliau yang diakui kualitas keilmuannya. Alumni Ma’ahid tidak sedikit yang menjadi tokoh penggerak aswaja di organisasi NU di daerah masing-masing, baik struktural maupun kultural. Antara lain KH. Sya’roni Ahmadi.

Ada juga yang aktif di Muhammadiyyah, ada pula yang menjadi tokoh di LDII dan lainnya. Sumber keterangan ini didapatkan dari H. Moh. Dzofir, M.Ag[3] cucu Kiai Muhith. “Setahu saya Kiai Muhith orangnya netral. Pada pemilu 1955 misalnya, beliau tidak ikut menyoblos, jadi tidak memilih Partai NU ataupun Masyumi,” papar KH. Choirozyad putra KH. Turaichan Adjhuri.

Setelah mundur dari Madrasah TBS, Kiai Muhith mengadakan pengajian di rumah sendiri. Ternyata hanya dalam tempo dua tahun jumlah santrinya mencapai ratusan. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Syawwal 1356 H/19 Desember 1937 M ia mendirikan madrasah dengan nama Ma’ahid ad Diniyyah al Islamiyyah al Jawiyyah di rumahnya, Jl. Sumur Tulak, Krapyak, Kaliwungu, Kudus. Pada perkembangannya kata al Jawiyyah dihapus ketika lembaga pendidikan ini diaktenotariskan pasca peristiwa Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh/ G30SPKI) tahun 1965 dengan nama Yayasan Pendidikan Islam Ma’ahid.

Pada periode kepemimpinan Kiai Ahmad Zaini Ichsan, santri Ma’ahid terus mengalami perkembangan. Bahkan sekitar tahun 1955 santri-santri Ma’ahid dikenal luas dengan kemampuan debat politik, dimana saat itu Masyumi sebagai partai Islam sedang naik daun. Di bidang pembangunan fisik, pada tahun ini Ma’ahid mampu membangun gedung dua lantai yang cukup representatif. Gedung inilah yang sampai sekarang masih dipertahankan karena merupakan peninggalan yang paling berharga dari generasi awal Ma’ahid.

Abdul Wahid Hasyim[4] menceritakan, pada tahun 1961 pernah diadakan Bahtsul Masail di masjid Sidi Gede Pecangaan Jepara yang dipimpin oleh KH. Masduqi (Lasem) dengan narasumber KH. Bisyri Musthafa (Rembang) dan Kiai Ahmad Zaini Ichsan (Kudus). Semua sepakat bahwa dasar untuk menetapkan hukum adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Sedang permasalahan yang dibahas adalah tentang wasilah.

Dalam penyampaiannya, Kiai Ichsan mengatakan bahwa wasilah hukumnya haram, sedang Kiai Bisyri menyatakan boleh. Situasi menjadi tidak terkendali sehingga forum pembahasan dipindah ke rumah seorang tokoh masyarakat.

Dalam sidang tertutup yang cukup alot, Kiai Ichsan tetap kokoh mempertahankan pendapatnya. Akhir dari rentetan peristiwa ini, Kiai Ichsan diberhentikan dari jabatan Ketua Partai NU Anak Cabang Bae Kudus lewat rapat pleno Pengurus Partai Nahdlatul Ulama cabang Kudus.

Pada akhirnya, ia juga direcall dari keanggotaan DPR GR Kabupaten Kudus. Rumah-rumah sekitar Ma’ahid yang dulu pernah digunakan tempat mondok para santri tidak boleh dipakai lagi. Banyak orang tua santri yang ikut mencabut putra mereka dari Ma’ahid setelah peristiwa ini.

Keluarga dan Kesederhanaan Kiai Muhith

Kiai Muhith menikah dengan Juwairiyah binti Raden Sudirdjo bin Kartowijoyo. Dari pernikahannya, Kiai Muhith dikarunia 7 orang anak. Faizah, Sholeh Al Huda, Fatimah, Syu’aib, Nikmah, Zulaikho dan Falichah.

Walau sejak kecil hidup berkecukupan, Kiai Muhith gaya hidupnya sangat sederhana. Bahkan saking sederhananya, terkesan seperti orang yang tidak mampu. Kesederhanaannya tampak sebagaimana cerita menantu Mas’ud Afa[5] yang mengatakan bahwa Kiai Muhith mau tinggal di bekas gudang klobot pemberian ayahandanya. Ruang gudang ia bagi menjadi 3 tempat. Sepertiga untuk tempat tinggal, sepertiga lagi untuk mushalla dan sepertinga sisanya untuk ruang kelas santri.

Kiai Muhith hanya memiliki 3 baju. Sepotong baju khusus untuk bepergian dan 2 potong baju untuk keseharian di rumah. Ketika yang satu dipakai, satunya dicuci. Ketika yang dicuci telah kering, giliran yang dipakai ia cuci, istilah sekarang cuci kering pakai.

Jika ada yang membelikan baju lagi, maka yang satu diberikan kepada orang lain. Dalam hal makanan, Kiai Muhith juga sangat sederhana. Menu sehari-hari keluarganya adalah sayur ditambah tahu sepotong untuk 4 orang. Makan telur rebus sudah termasuk sesuatu yang mewah. Demikian kenang Zulaikho.

Selain sederhana, Kiai Muhith juga terbilang wira’i atau hati-hati berurusan dengan harta. Pernah  suatu ketika seoarang pengusaha pabrik rokok Cap Tebu Cengkeh bernama H. Muslih mengutus Hasbullah anaknya untuk mengantarkan uang zakat kepada Kiai Muhith. Namun uang tersebut ditolak oleh KH. Abdul Muhith dengan alasan tidak berhak. “Aku iki wong nduwe nang, dudu wong kere. Gawanen bali duit iki. Jik akeh wong seng mbutohke duit iki,” kata Kiai Muhith ke Hasbullah.[6]

Kesederhaan dan kezuhudan Kiai Muhith adalah keteladanan yang sulit diikuti. Pernah suatu ketika Kiai Muhith memiliki kursi baru, tiba tiba ada santri yang nyeletuk “kiai, kursi jenegan kok bagus,” spontan Kiai Muhith balik bertanya “kamu suka?”. Sebelum santri menjawab, Kiai Muhith melanjutkan, “kalau kamu suka, nanti saya antarkan kursi ini ke rumahmu.” Masyallah, sore harinya kursi tersebut sudah diantar ke rumah santri tadi.

Kiai Muhith juga pandai dalam bergaul dan bermasyarakat. Sering menghadiri undangan kenduren atau tahlilan. Untuk berangkat memenuhi undangan hajatan misalnya, Kiai Muhith sering berangkat naik andong bersama para kiai NU.

KH. Abdul Muhith wafat setelah terjangkit penyakit bronchitis. Ia meninggalkan keluarga dan santrinya menghadap Yang Maha Kuasa pada hari Selasa tanggal 2 Ramadlan 1376 H bertepatan dengan 2 April 1957 H dan dimakamkan di komplek makam Sedio Luhur Krapyak, tepat dibelakang bangunan Madrasah Ma’ahid. Allahu Yarham. Santri Abadi. (smc-777/ edited-212)
الى حضرة النبي المصطفى محمد صلى الله عليه وسلم والى روح الشيخ المؤسس كياهي عبد المحيط الفاتحة
__________________________________

Sumber:
– DutaIslam.Com
– H. Moh. Dzofir, M.Ag, cucu KH. Abdul Muhith
– Muhsin Suny M, “Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Pendidikan Islam Ma’ahid” diterbitkan oleh Panitia Peringatan Milad Ma’ahid ke 75

http://santrimenara.com/kh-abdul-muhith-kiai-zahid-pendiri-tbs-dan-maahid-1068

الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي ثم الأندونيسي

الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي ثم الأندونيسي

حياته الأولى :

ولد الشيخ أحمد الخطيب في منطقة يقال لها “بوكيت تعكي [Bukit Tinggi]” في سنة 1855 الميلادي. والده رئيس القضاة في فادان, وأما أمه ابنة أحد العلماء المشهورين في جماعة فادْرِيْ يقال له “تُوَانْكُوْ نَانْ رَانْجِيهْ”. في جسده تسيل دماء العلماء الذين يدافعون عن التقاليد المنتشرة في منكابو.

          أخذ الشيخ تربيته الأولى من والديه وبعض الأساتذة في المدرسة الدينية التي تسمى بـ “مينسة”. وحينما بلغ في العاشرة من عمره دخل الشيخ في المدرسة الابتدائية لهولند. وبعد أن انتهى من هذه المدرسة, أمضى دراسته في مدرسة الأساتذة أو Kweekschoolفي بوكيت تعكي.

          وعندما بلغ من العمر إحدى وعشرين طلع الشيخ أحمد مع والده إلى مكة المكرمة للنسك وتعلم علوم الدين. ولكن الشيخ أحمد فيما بعد أبى أن يرجع إلى وطنه المحبوب واختار المقام في بلد الله الحرام مكة المكرمة.

          تعلم الشيخ أحمد الخطيب في مكة لدى علمائها المشهورين. بعضهم من العلماء الجاويين المجاورين هناك وبعضهم من غيرهم. منهم:

1.    الشيخ محمد نووي بن عمر البنتني الجاوي مؤلف مراح لبيد في تفسير القرآن المجيد

2.    الشيخ السيد بكري شطا مؤلف إعانة الطالبين

3.    الشيخ العلامة السيد أحمد بن زيني دحلان مؤلف الدرر السنية في الرد على الوهابية

4.    الشيخ محمد بن سليمان حسب الله المكي

5.    وغيرهم من العلماء الأجلاء.

وفي أثناء إقامته في مكة, التقى الشيخ أحمد الخطيب بالمسلمين الواردين إلى مكة المكرمة من أنحاء بلاد الإسلام المتنوعة لحوائج مختلفة, منهم من أراد الحج والعمرة, ومنهم من أراد التعلم والاستفادة ومنهم من أراد التجارة وغير ذلك من الحاجات المتنوعة. ومن خلال تعارفه بهؤلاء المسلمين تعرف أيضا الشيخ أحمد الخطيب بأوضاع الأمة الإسلامية في أكثر البلاد. فعرف حينذاك أن الأمة الإسلامية قد بلغت من الانحطاط والتأخر, الغاية والقصوى.

وفي أثناء إقامته بمكة, تعارف أيضا الشيخ أحمد الخطيب بالشيخ أحمد الكردي أحد الأغنياء الذي يتجر الكتب الدينية. وحينما عرف الشيخ أحمد الكردي مقدار علم الشيخ الدقيق وفهمه العميق, زوجه بابنته. ثم عرفه على أشراف مكة وسلاطينها حينذاك. علم هؤلاء السلاطين مكانة الشيخ أحمد في العلوم الدينية, وأنه كالبحر في هذا المجال, يأخذ هنا ويترك ذاك حيث شاء وجال. وأنه لايحصل كل ذلك إلا من رزقه الله تعالى شدة الذكاء وقوة القريحة مع انشراح الصدر وصفاء الفكر. وزيادة على ذلك أن الشيخ أحمد الخطيب أعطي قوة في الكلام وسحرا في البيان.

وبعد ذلك, نصبه سلطان مكة أن يكون أحد الأئمة والخطباء في المسجد الحرام من جانب علماء المذهب الشافعي, ولذلك لقب الشيخ أحمد بـ”الخطيب”. وأذن أيضا في إلقاء الدروس الدينية في رحبة المسجد الحرام. وحلقته مكتظة بالطلبة من مختلف الأجناس والطبقات. وأكثر الحجاج الإندونيسيين يزورونه في الموسم.

بعض نشاطات وأفكار الشيخ أحمد الخطيب:

الشيخ أحمد الخطيب المنكاباوي من العلماء الذين اختاروا الإقامة في مكة المكرمة طيلة حياته. ولم يعرف أنه يرجع إلى وطنه المحبوب إندونيسيا حتى توفته المنية. لكن له علاقة وطيدة ورابطة قوية مع أكثر رعايا الإندونيسيا من بين الحجاج أوالمتعلمين لديه لاسيما المنكابويين. ومن خلال لقائه مع الحجاج والطلبة الإندونيسيين أبدى الشيخ الخطيب أراءه وأفكاره علمية كانت أو سياسية. وأبدى الشيخ الخطيب أيضا همومه المتعلقة بالاحتلال الهولندي في الوطن المحبوب إندونيسيا. ولذلك أكد الشيخ الخطيب أهمية الاتحاد من بين أبناء البلاد لمكافحة هذا الاحتلال ويوقظهم الشيخ من سباتهم العميق كي ينهضوا ويغيروا أوضاعهم المبكية.

تتعلق أفكار وأراء الشيخ أحمد الخطيب بالمجالات التالية:

1.      مجال العقيدة. في هذا المجال ينتقد الشيخ الخطيب بعض التقاليد والعادات المخالفة للتعاليم الإسلامية, لا سيما بعض العادات الجارية في منكابو. ومن تلك العادات المخالفة مسألة الوراثة الجارية في منكابو من تفضيل الأولاد الإناث على الأولاد الذكور. وكتب الشيخ في هذه المسألة كتابين هما “الداعي المسموع في الرد على من يورث الإخوة وأولاد الأخوات مع وجود الأصول والفروع” و “المنهج المشروع في ترجمة كتاب الداعي المسموع”. وانتقد الشيخ الخطيب الطريقة النقشبندية الخالدة التي انتشرت في منكابو. ورأى أن بعض أعمال هذه الطريقة مخالف للشريعة, وألف كتابا في هذه المسألة وهو “إظهار زيغ الكاذبين في تشبههم بالصادقين”. ولا بد من التنبيه, أظن ظنا قويا أن الذي أنكره الشيخ الخطيب هو أعمال بعض المنتسبين إلى الطريقة النقشبندية الخالدية وليس المنكر نفس الطريقة. ولا ينكر الشيخ أيضا سائر الطرق إلى الله كالقادرية والرفاعية والشطارية وغيرها طرق أهل الله. والله أعلم.

2.      مجال التربية. أكد الشيخ أحمد الخطيب أهمية التربية للأمة الإسلامية حتى لا تكون مذلة تحت سلطنة الاحتلال الهولندي. ولذلك نرى أن تلاميذ الشيخ الخطيب فيما بعد هم رجال النهضة الوطنية لمكافحة الاحتلال الهولندي, أمثال حضرة الشيخ الكياهي هاشم أشعري الجمباني مؤسس جمعية نهضة العلماء والشيخ الكياهي أحمد دحلان الجكجاوي مؤسس جمعية المحمدية والشيخ عبد الكريم أمر الله والد الشيخ عبد الملك كريم أمر الله (همكى), والشيخ سليمان الرسولي وغير هؤلاء من العلماء الأجلاء ذوي الغيرة العلياء لمكافحة الأعداء.

3.      مجال السياسة. كان الشيخ أحمد الخطيب من العلماء الذين يثيرون الغيرة الوطنية في صدور تلاميذهم. وهو يحرض تلاميذه كي يثوروا على الدولة الهولندية التي قد احتلت الوطن منذ زمان ليس بقريب. قال الشيخ الخطيب— فيما روي— أن القتال ضد المحتلين هو الجهاد في سبيل الله.

والحاصل, أن الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي وإن كان مجاورا بيت الله الحرام طيلة حياته إلى وفاته لكن أفكاره الكامنة في صدور تلاميذه وتآليفه المنتشرة في أنحاء البلاد الإسلامية لشاهدة حق على اهتمامه البليغ بوطنه المحبوب إندونيسيا. 

علاقة الشيخ أحمد الخطيب بمعاهد نوسنتارا المشهورة باسم “فسانترين”.

          وبعد أن عرضنا ترجمة وجيزة تتعلق بحياة الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي, يطلع سؤال ألا وهو: “ما علاقة الشيخ الخطيب بمعاهد نوسنتارا المشهورة باسم (فسانترين)؟” فالجواب عن هذا السؤال يتضح خلال نظرنا في أمور تالية:

1.  أن الشيخ أحمد الخطيب في صغره يتربى في المدرسة أو مينسة, والمدارس في ذاك الأوان ليست كأكثر المدارس التي أكثر هدفها الاكتساب وجمع النقود في مثل هذا الزمان.

2.  أن الشيخ الخطيب يتلمذ لدى المشايخ الذين يتصل أسانيدهم العلمية بعلماء فسانترين أمثال الشيخ محمد نووي بن عمر البنتني ثم الجاوي.

3.  اعتناقه المذهب الشافعي في الفقه والمذهب الأشعري أو الماتريدي في العقيدة. والتمذهب من سمات علماء فسانترين حتى الآن. بخلاف علماء حركة الدعوة الإصلاحية التي اشتهرت بدعاية اللامذهبية. والدليل على هذا البند, أن الشيخ الخطيب نصب خطيبا في المسجد الحرام من جانب علماء المذهب الشافعي ويعلم أيضا المذهب الشافعي لتلاميذه.

4.   عدم موافقة الشيخ الخطيب لبعض أفكار مفتي الديار المصرية سابقا أعني الشيخ محمد عبده الذي كان إماما للدعوة الإصلاحية في العالم الإسلامي. وإن كان الشيخ الخطيب يأمر بعض تلاميذه بمطالعة كتب الشيخ محمد عبده لا لتقليده بل لانتقاده. ولكن للأسف أن بعض تلاميذ الشيخ الخطيب ينتحل أراء محمد عبده هذا في دعوته, وذلك مثل الشيخ عبد الكريم أمر الله والد همكى. فقد حصل في سنة (1301-1355 ه-1884-1974 مـ) اختلاف شديد بين الشيخ حسن معصوم من ديلي- سرداع من أعمال سمطرة الشمالية والشيخ عبد الكريم أمر الله, وهما من أكابر تلاميذ الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي. وهذا الاختلاف مشهور بالخلاف بين الشيوخ والشباب (kaum tua-kaum muda ). فالشيخ حسن معصوم مع هؤلاء الشيوخ والشيخ كريم أمر الله مع هؤلاء الشباب. فوصل خبر هذا الاختلاف إلى شيخهما الشيخ الخطيب, فوافق الشيخ أحمد الخطيب رأي الشيخ حسن معصوم وانتقد أراء الشيخ عبد الكريم أمر الله لأنه كثيرا ما يتأثر بأراء ابن تيمية. والله أعلم.

5.  أكثر تلاميذ الشيخ أحمد الخطيب صاروا فيما بعد أصحاب المعاهد الإسلامية في نوسنتارا. وهؤلاء أمثال حضرة الشيخ الكياهي هاشم أشعري الجمباني مؤسس المعهد تبوإيرغ بجمبانج, والشيخ عبد الوهاب حسب الله صاحب …والشيخ بشري شنسوري صاحب معهد…وغير هؤلاء.

قد استنتجنا من هذه الأمور الخمسة أن علاقة الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي بالمعاهد الإسلامية المشهورة بفسانترين بنوسنتارا هي علاقة وطيدة وقوية. سواء كانت بوسائل تلاميذه أو أفكاره. والله أعلم.

مؤلفات الشيخ أحمد الخطيب.

          للشيخ أحمد الخطيب مؤلفات عديدة. منها:

1.      روضة الحساب في علم الحساب. بحث فيه الشيخ علم الحساب وعلم المقدار. طبع بالقاهرة سنة 1310 ه – 1892 مـ.

2.      النخبة النهية في ترجمة خلاصة الجواهر النقية في الأعمال الجيبة. هذا الكتاب شرح لكتاب روضة الحساب السابق الذكر. كتب بلغة ملايو وفرغ من تأليفه في ليلة السبت في ست خلون من شهر جمادى الأخرى سنة 1313 ه.

3.      الجواهر النقية في الأعمال الجيبية. هذا كتاب لمعرفة التواريخ والأوقات. طبع في قاهرة سنة 1309 ه-1891 مـ.

4.      الرياض الوردية في أصول التوحيد وفروع الفقه. يتكلم عن العقيدة والفقه كما يظهر ذلك من اسمه.

5.      ضوء السراج. يتكلم فيه الشيخ عن التقاليد والعادات التي رآها مخالفة للشريعة.

6.      إظهار زيغ الكاذبين في تشبههم بالصادقين. يتضمن هذا الكتاب انتقادا حادا من الشيخ أحمد الخطيب لبعض المتصوفة. فرغ من تأليفه في ليلة الأحد رابع ربيع الأخير سنة 1324 ه-1906 مـ.

7.      حاشية النفحات على شرح الورقات. وهذا الكتاب مشهور جدا في أكثر المعاهد بأندونيسيا, وأنا شخصيا مولع بمطالعته حينما درست كتاب شرح الورقات لجلال الدين المحلي, بجانب حاشية الدمياطي عليه. يذكر فيه الشيخ كثيرا من الأراء الأصولية حتى يستطيع القارئ أن يقابل بعض الأراء بالأخر بسهولة جدا. إلا أن منهج الشيخ في كتابة هذه الحاشية ليس ببعيد عن مناهج المتقدمين في كتابة الحواشي. وقد عرفنا أن في مناهجهم بعضا من الصعوبة. والله أعلم. فرغ الشيخ الخطيب من كتابة هذه الحاشية يوم الخميس في عشرين من شهر رمضان سنة 1306 ه. طبع بمطبعة دار الكتب العربية بمصر سنة 1332 ه.

8.      الداعي المسموع في الرد على من يورث الإخوة وأولاد الأخوات مع وجود الأصول والفروع. كتب بلغة ملايو. تكلم فيه الشيخ عن علم الفرائض وانتقد بعض التقاليد والعادات المخالفة للتعاليم الإسلامية ألا وهو مسألة الوراثة الجارية في منكابو من تفضيل الأولاد الإناث على الأولاد الذكور. فرغ من تأليفه بمكة المكرمة في الرابع عشر من شهر الله المحرم سنة 1309 ه. طبع بمطبعة الميمونية بمصر سنة 1311 ه من شهر ذي القعدة.

9.      المنهج المشروع في ترجمة كتاب الداعي المسموع. هذا الكتاب كالتعليقات على كتاب الداعي المسموع السابق الذكر. كتب بلغة ملايو وكثيرا ما طبع في هامش كتاب الداعي المسموع المذكور.

10.  ضوء السراج. اسم هذا الكتاب مثل كتاب الشيخ الذي يتكلم عن التقاليد المخالفة للشريعة السابق. لكن على حسب ما كتبه أحمد مبارك ياسين أن هذا الكتاب غير كتابه السابق, لأن هذا الكتاب يتكلم عن الإسراء والمعراج. كتب بلغة ملايو, وفرغ من تأليفه في السابع والعشرين من شهر ربيع الأخير سنة 1312 ه بمكة المكرمة. طبع بمطبعة الأميرية بمكة سنة 1325 ه.

11.  صلح الجماعتين في جواز تعدد الجمعتين. تكلم فيه الشيخ عن حكم جواز إقامة الجمعتين في منطقة واحدة. هذا الكتاب رد على كتاب ألفه السيد عثمان البتاوي مفتي بتاوي. فرغ من تأليفه ليلة الثلاثاء في الخامس عشر من شهر رجب سنة 1312 ه طبع أول مرة في مطبعة الأميرية بمكة.

وفاة الشيخ أحمد الخطيب.

                   قال أحمد سوريانا سودراجات أن الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي توفي سنة 1916 ه وقد ناهز من العمر إحدى وستين سنة. و في سنة وفاته قد بدأت الاختلافات بين المتمذهبين و الإصلاحيين. رحم الله الشيخ أحمد الخطيب المنكابوي ثم الإندونيسي وجزاه الله عن المسلمين خير ما جزى عباده الصالحين وعلماءه العاملين. آمين.

والله أعلم بالصواب.
Sumber:
http://anjangsanasantri.blogspot.co.id/2016/01/blog-post.html?m=1